Rabu, 09 Mei 2012

komunitas cah santri


Santri Jalanan, menyebar toleransi diantara mereka yang sering terpinggirkan.


'Anak jalanan' itulah sebutan yang biasanya dilontarkan saat melihat anak muda bergaya layaknya penyanyi rock. Mungkin kita kadang salah menilai tentang keberadaan mereka. Di Cibinong, Jawa Barat, justru 'anak jalanan' ini memiliki program ‘Santri Jalanan-lovely moeslim movement’ yang mengajarkan semangat toleransi antar sesama.
Sekitar pukul 19.30 malam, saya mendatangi sebuah mushola di kawasan Pondok Rajeg, Cibinong Jawa Barat. Musholanya bernama Ba’di Abid.
Saat saya masuk mushola, tampak ada sekitar 25 orang berkumpul melingkar di depan tempat imam mushola berkhutbah dan memangil orang sembahyang.
Ada yang sedikit berbeda di tempat itu. Saya mengetahui hampir setengah dari orang yang duduk  disana bebas merokok sambil mengopi. Baru kali itu saya melihat ada orang bebas merokok di dalam rumah ibadah.
Malam itu saya juga melihat ada dua orang perempuan ikut meriung. Salah satunya warga Amerika dengan banyak tattoo dilengannya. Dia duduk persis di sebelah lelaki tua berambut putih sebahu. Sebelumnya dia mengenalkan diri sebagai Djoko Tuladi. Ada sekitar tujuh orang bartatoo lainnya, bahkan ada yang bertato di kepala dan berambut gaya Indian di film-filim koboy Amerika. Mereka menyebutnya "anak punk".
Tak lebih dari lima belas menit menunggu, seorang yang berkopiah segera membuka salam serta menyampaikan bahwa pengajian dan diskusi segera dimulai.
Tadinya saya mengira bahwa pengajian ini bakal dimulai dan dipenuhi bahasa Arab yang memang saya tak mengerti.
Seorang lantas membuka tafsir Qur’an dan membacanya sekilas.
Lalu ia membagikan selembar kertas kepada semua yang hadir. Kertas tersebut bergambar kepala manusia, primata, keledai dan reptil.
Lalu beberapa saat setelahnya, Djoko Tuladi, orang tua yang duduk di hadapan saya mulai berbicara soal kedangkalan akal pikir manusia yang disamakan dengan ketiga binatang tadi, terutama jika memandang soal toleransi dan cinta kasih.
Komunitas Santri Jalanan
Djoko Tuladi adalah pencetus komunitas yang mengkampanyekan soal toleransi beragama.
Djoko kelahiran Pacitan, 69 tahun lalu itu mulai rutin menggelar pengajian dan diskusi, setidaknya dua kali seminggu di mushola sejak enam tahun lalu.
Ia pernah kuliah di Universitas Airlangga. Sejak tahun 1990-an dia sering ikut dalam diskusi Paramadina di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.
Tujuan dari diskusi dan pengajian ini adalah adalah merangkul mereka yang dituding sebagai penjahat, preman dan pelaku tindak kriminal lainnya.
Kata Tuladi, cara mengkaji dengan gaya nyeleneh inilah yang bisa diterima oleh para begundal sampai menularkan soal toleransi dan cinta kasih.
Dengan gaya nyeleneh seperti tadi, Tuladi kerap dituduh sebagai pelopor komunitas sesat. Tapi ia tidak hiraukan, dan jalan terus hingga bisa diterima warga disekeliling rumahnya.
Tuladi bercerita, banyak dari mereka yang berubah pesat sejak ikut bersama berkumpul dengan komunitas santri jalan karena dia tidak pernah membedakan siapa saja yang mau ikut bergabung.
Salah satunya, Mikael Isrofil yang biasa dipanggil Mike. Mike yang bertato hingga di kepala adalah seorang vokalis band punk.
Mike mengaku ia merasa diterima di komunitas santri jalanan.
Sekarang mike tak ragu sejak bergabung dengan Santri Jalanan yang berkampanye tentang cinta kasih.
Lain lagi cerita Sirman Saragih yang non muslim. Sirman sudah setahun belakangan ikut pengajian dengan Saantri Jalanan. Ia tak pernah merasa risih, malah yakin adanya nilai universal yang dianut setiap agama
Ya, itulah komunitas Santri Jalanan dengan kampanye cinta kasih a la Djoko Tuladi. Djoko yakin, bahwa idenya soal cinta dan toleransi antar sesama manusia  bisa ditiru oleh banyak komunitas lain demi perdamaian di muka bumi.
Dengarkan audio berikut untuk pengalaman saya bertemu komunitas ini.

Topik:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar